Eksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Oleh: Sudarja Ardiansyah, S.H.[1]
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam tentunya memiliki rasa taat beragama dengan cara tunduk kepada tuntunan syariat islam itu sendiri. Peradilan Agama yang dalam hal ini adalah wujud dari bentuk akomodasi terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat yang beragama islam. Pada masa awal kekuasaan Islam, kekuasaan peradilan masih dipegang oleh Rasulullah SAW. Beliau sendiri yang melaksanakan fungsi sebagai hakim atas berbagai persoalan dan sebagai pemimpin umat. Setelah Islam mulai berkembang dan kekuasaan Islam makin melebar, Rasulullah mulai mengangkat sahabat-sahabatnya untuk menjalankan kekuasaan di bidang peradilan di berbagai tempat. Di antara sahabat tersebut adalah Muadz Bin Jabal ra, yang ditunjuk menjalankan kekuasaan pemerintahan dan peradilan di Yaman, dan Atab Bin Asid yang menjadi hakim di Mekah.[2] Setelah Rasulullah SAW wafat, sahabat sebagai generasi Islam pertama meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi SAW merupakan peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebelum jenazah Nabi SAW dikubur, sahabat telah berusaha memilih penggantinya sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara. Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi SAW. Abu Bakar diganti oleh Umar bin Khattab yang kemudian diganti oleh Usman bin Affan dan selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib.[3]
Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia tentunya tidak lepas dari dari tuntutan masyarakat yang beragama islam untuk pemenuhan terhadap perkembangan masyarakat dalam pemenuhan hukumnya. Melalui ahli hukum Van den Berg lahir teori receptie in complexu yang menyatakan bahwa syari’at Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk Agama Islam.[4] Dalam perkembangannya Peradilan Agama di Indonesia secara de jure mulai di akui Sejak tahun 1882, Peradilan Agama mulai masuk ke dalam sistem ketatatanegaraaan Pemerintah Hindia Belanda, yakni dengan dikeluarkannya keputusan Raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Stb. 1882 No. 152. Berdasarkan Stb. 1882 No. 153, maka Stb. 1882 No. 152 tersebut berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tanggal 1 Agustus 1882 merupakan tanggal diakuinya Badan Peradilan Agama menjadi Pengadilan Negara di Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda.[5]
Peradilan Agama pada masa penjajahan kolonial Belanda dapat dilihat kedalam dua bentuk yaitu: Pertama, toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan Hukum Islam, dikenal dengan penerapan teori Receptie in complex yang dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg yang mengajarkan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka.
Dalam sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, Peradilan Agama secara yuridis formal memiliki kedudukan sebagai Pengadilan Negara. Kedudukan Peradilan Agama menjadi Lembaga Negara, menjadi dasar bagi kewajiban pemerintah membentuk Peradilan Agama di setiap daerah yang sudah ada landraad (Pengadilan Negeri). Kedua, upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum Adat. Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven menentang teori Receptie in complex, mereka membuat teori baru, yaitu teori receptive yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam melainkan Hukum adat, hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak Kedua, upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum Adat. Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven menentang teori Receptie in complex, mereka membuat teori baru, yaitu teori receptive yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam melainkan Hukum adat, hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat dan sudah diterima (diresepsi).[6]
Pengaruh teori receptie berdampak dengan dikeluarkannya Staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Kompetensi Peradilan Agama hanya tebatas masalah perkawinan dan perceraian. Lembaga peradilan bukan lagi lembaga peradilan yang selayaknya, namun hanya sebatas lembaga agama semata.
PASCA KEMERDEKAAN
Kemerdekaan Indonesia menjadi tonggak baru sejarah perkembangan dunia peradilan khususnya dengan Peradilan Agama. Pada awal tahun 1946 dbentuklah kementerian agama. kementerian agama dimugkinkan melakukan konsolidasikan atas seluruh administrasi lembaga-lembaga islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementerian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD yang menjadi Unsemua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementerian Kehakiman ke dalam kementerian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah/badan yang beskala nasional. Kemudian berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksut-maksut untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.[7] Praktis kedudukan Lembaga Peradilan Agama berada pada kementerian agama dan terpisah dari lembaga peradilan lainnya.
MASA ORDE BARU
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengokohkan keberadaan Peradilan Agama dengan status yang sama dengan lingkungan peradilan lainnya sehingga merupakan bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan dalam kekuasaaan kehakiman (Yudikatif).
Kemudian lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan kembali keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasal 12 ayat (1) undang-undang ini “Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri” semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
Meskipun keberadaan Peradilan Agama sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya dibawah Mahkamah Agung (Yudikatif) namun terkait dengan independensi masih menyisakan persoalan. Salah satunya adalah adanya intervensi dari kekuasaan lain dalam hal ini Pemerintah (Eksekutif). Hal ini mengingat UU No. 14 Tahun 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof system) atau dualisme sistem dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman dimana dalam hal teknis yustisial, 4 (empat) lingkungan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan dalam hal non-yustisial seperti administrasi, organisasi dan keuangan berada di bawah kekuasaan eksekutif (departemen). Seperti ditegaskan pada Pasal 11 Ayat (1); “Pemerintah berwenang mengurusi dan mengatur lembaga peradilan dalam hal pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan”. Dengan demikian kekuasaan kehakiman pada saat itu masih kental intervensi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kehendak orang perorang yang berkuasa. Dari hal ini pengebirian terhadap kekuasaan kehakiman terulang Kembali.[8]
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan Undang-undang (UU) organik yang mengamanatkan dibuatnya UU masing-masing lingkungan Peradilan tersendiri. Hingga berselang 15 tahun kemudian lahirlah Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memperkuat Kembali secara khusus keberadaan Peradilan Agama.
Sebelum berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal itu tercermin dengan adanya ketentuan Peradilan Agama tidak dapat menjalankan eksekusi terhadap putusannya sendiri sebelum mendapatkan fiat executie (pengukuhan) dari Pengadilan Negeri. Dengan demikian Pengadilan Agama dapat dikatakan pengadilan semu/kuasi. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan Peradilan Agama sejajar dengan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri.[9] Sehingga keberadaan pengadilan agama dari sisi kedudukan maupun kewenangannya menjadi sangat jelas.
MASA REFORMASI
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan undang-undang yang menganut sistem dua atap (double roof system). Masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman di negeri ini mengakibatkan peradilan tidak indenpenden. Karena itu, kompleksitas permasalahan seputar sektor peradilan di awal reformasi, berkaitan dengan format yuridis, format pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Hal yang penting dilakukan adalah berkaitan dengan penguatan kekuasaan kehakiman dalam perspektif kelembagaan dan teknis administrasi peradilan.
Salah satu di antara realisasi pemerintahan di era Reformasi adalah menerapkan tiga tujuan pokok hukum di bawah kontitusi. Tiga tujuan pokok, yaitu (i) keadilan, (ii) kepastian, (iii) kebergunaan. Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan dan kepatutan serta kewajaran. Sedangkan kepastian hukum terkait dengan ketertiban dan kententraman. Sementara, kebergunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama. Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujaun yang tertinggi, tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: (i) keadilan, (ii) ketertiban, dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara.[10]
Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Empat kali amandemen UUD 1945 cukup memberikan gambaran betapa perubahan tersebut terjadi secara mendasar, yaitu pada level konstitusi. Dalam tatanan konstitusi baru pasca amandemen, paradigama pembagian kekuasaan (devision of power) yang menjiwai UUD 1945 pra amandemen berubah menjadi paradigma pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas dalam konstitusi baru. Diakui atau tidak, pembaruan kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan, sangat erat kaitannya dengan politik hukum yang berlaku. Karena itu, seiring dengan tuntutan reformasi dalam bidang kekuasaan kehakiman agar mandiri dan independen seperti diharapkan melalui TAP MPR Nomor X/MPR/1998, tataran peraturan perundang-undangan mengalami perubahan, yaitu dengan undangkannya Undang-undang RI Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, sistem yang dipakai adalah sistem satu atap (one roof system). Artinya pembinaan terhadap empat lingkungan lembaga peradilan yang ada secara teknis yustisial, adminstratif, organisatoris, dan finansial berada di tangan Mahkamah Agung.[11]
Selanjutnya khusus bagi Peradilan Agama, pelaksanaan pemindahan lembaga Peradilan Agama ke Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004. Dalam ayat (2) Keppres ini menetapkan bahwa organisasi, administrasi dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depertemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Syari’ah Provinsi dan Pengadilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung.[12] Pada akhirnya semangat keberadaan lembaga peradilan khususnya Peradilan Agama yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan independen setidaknya tercerminkan pada era reformasi melalui perubahan kedudukan dibawah Mahkamah Agung secara mutlak. Dasar dari perubahan ini tentunya mengacu pada adalah amandemen UUD 1945 Pasal 24 yang setelah diubah selengkapnya berbunyi:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pasal ini merupakan landasan bagi independensi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Merdeka dalam arti bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) dalam menjalankan fungsinya terlepas dari pengaruh pemegang kekuasaan yang lain dan mandiri dalam arti berkuasa untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemisahan kekuasaan negara yang tertuang dalam UUD 1945.[13] Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta Wakaf dan Shodaqoh, tetapi sekarang wewenangnya diperluas lagi setelah diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga wewenangnya diperluas meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syari’ah.26 Kemudian Undang-undang ini diamandemen lagi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989. Perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Undang-Undang ini mengindikasikan bahwa kewenangan Peradilan Agama menjadi kuat dan lebih luas dengan lahirnya peradilan khusus di Nangroe Aceh Darussalam, kewenangan menyelesaikan sengketa bisnis Syari’ah, kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik antara orang Islam, serta dihapuskannya hak opsi dalam penyelesaian perkara waris. Politik hukum terhadap perubahan Undang-undang Peradilan Agama yang memperkuat dan memperjelas kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama semakin membuat keberadaan Peradilan Agama menjadi bagian unsur cabang kekuasaan dalam bidang Kehakiman (Yudikatif).
KESIMPULAN
Keberadaan lembaga Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sebelum kemerdekaan. Perkembangannya mengalami banyak perubahan pasca kemerdekaan. Salah satunya terkait dengan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem ketatanegaraan berpengaruh kepada independensinya sendiri. independensi peradilan agama tentunya menjadi persoalan yang sangat di perhatikan. Indepedensi ini sudah tercermin melalui kedudukan teknis yustisial, adminstratif, organisatoris, dan finansial yang berada dibawah Mahkamah Agung berdasar Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga terbebas dari campur tangan kekuasaan manapun, yang sebelum adanya UU ini kewenangan dalam hal organisasi, administrasi dan keuangan masih berada dibawah pemerintah (Departemen Agama). Penguatan kewenangan dan kedudukan Peradilan Agama semakin tercermin dengan dilakukkannya dua kali perubahan terhadap Undang-undang Peradilan Agama.
[1] Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Analis Perkara Peradilan 2021 Pengadilan Agama Taliwang
[2] Asadulloh Al Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009)
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. ke-1, h. 37.
[4] Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan. Yogyakarta: UII Press 2006 hlm 12.
[5] Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses pembentukan UUnya, Departemen Agama RI, 2001 hlm 12.
[6] Jurnal At-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan Volume 31 Nomor 2 Tahun 2021
[7] Roestandi, Ahmad, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya jawab,(Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet 1, 2006, hal. 3.
[8] Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan Edisi No. 72, 2010.
[9] Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 262-263.
[10] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I (Cet. I; Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 149, dalam Jainal Arifin, Peradilan Agama, h. 298
[11] Abd. Khalik Latuconsina, Penyatuatapan Peradilan Agama (Suatu Perpektif Dinamika Sejarah), Jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon.
[12] Abdul Manan, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan pengendalian Administrasi Kepanitraan, Diterbitkan Oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. 2007. Cet-3.
[13] Achmad Edi Subiyanto, Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan Uud 1945, Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2012.